Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebenarnya sudah dikenal sejak menusia mengenal Hukum dan telah dimuat dalam Kitab Hukum tertua yang.
Missing: acara | Must include: acara

105 KB – 15 Pages

PAGE – 1 ============
1PERBUATAN MELAWAN HUK UM OLEH PENGUASA1 H. UJANG ABDULLAH, SH. M.Si2 I. PENGERTIAN Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebenarnya sudah dikenal sejak menusia mengenal Hukum dan telah dimuat dalam Kitab Hukum tertua yang pernah dikenal sejarah yait u Kitab Hukum Hammurabi (dibuat lebih dari empat ribu tahun yang lalu). Dalam kitab te rsebut diatur mengenai akibat hukum sesorang yang melakukan perbuatan tertentu yang sebenarnya tergolong dalam perbuatan melawan hukum. Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh didalam per kembangan di lndonesia karena kaidah hukum di sana berlaku bagr negeri jajahannya berdasarkan azas konkordansi termasuk Indonesia. Dalam perkembanga nnya pengertian perbuatan melawan hukum mengalami perubahan dalam tiga periode sebagai berikut : 1. Periode sebelum tahun 1838 Pada periode ini di negeri Belanda belum terbentuk kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW), sehingga pelaksanaan per lindungan hukum terhadap perbuatan melawan hukum belum jelas dan belum terarah. 2. Periode antara tahun 1838 -1919 Pada periode ini di negeri Belanda tel ah terbentuk kodifikasi BW, sehingga berlakulah ketentuan pasal 1401 BW yang sama dengan ketentuan 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdat a mengenai perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) yang ditafsirkan sebagai berbuat sesuatu (aktif) maupunn tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1366 KUH Perdata. 1 Disampaikan dalam Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Pemerintah Propinsi Lampung, 13-14 Juli 2005 2 Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

PAGE – 2 ============
23. Periode setelah tahun 1919 Periode ini merupakan dasar d an permulaan pengertian baru perbuatan melawan hukum dan sekaligus merupakan koreksi terhadap paham kodifikasi yang sempit dan ajaran legisme yang hanya memandang aturan tertulis atau kebiasaan yang diakui tertulis sebagai hukum. Perubahan yang terjadi adalah dengan diterimanya Penafsiran Luas tentang Pengertian Perbuatan Melawan Hu kum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen. Kasus tersebut merupakan kasus mengenai persaingan yang tidak sehat dalam dunia bisnis, dimana pe rusahaan Lindenbaum dan Perusahaan Cohen saling bersaing dalam bidang percetakan. Dengan maksud menarik pelanggan Lindenbaum maka perus atraan Cohen memberikan berbagai macam hadiah kepada pegawai Lindenbaum agar pegawai tersebut memberitahukan kepada perusanaan Cohen salinan dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh Li ndenbaum kepada masyarakat serta memberitahu nama orang-orang yang mengajukan order kepadanya, tindakan tersebut kemudian ketahuan da n digugat melalui Pengadilan Amsterdam. Pengadilan Amsterdam yang memeri ksa kasus tersebut kemudian memutuskan bahwa perbuatan perus ahaan cohen tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Meskipun di tingkat banding perusahaan cohen tersebut dimenangkan dengan alas an tidak ada satu pasalpun dari peraturan perundang-undangan y ang berlaku dilanggar oleh perusahaan Cohen, akan tetapi ditingkat kasasi oleh Hoge Raad akhi rnya perusahaan Cohen dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena pengertian perbuatan melawan hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi juga perbuatan : o Yang melanggar hak orang la in yang dijamin hukum o Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku o Yang bertentangan dengan kesusilaan

PAGE – 3 ============
3o Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Dengan demikian sejak putusan He ge Raad Belanda tersebut maka pengertian perbuatan melaw an hukum tidak hanya meli puti perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal da lam perundang-undangan yang berlaku tetapi termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat. Sedangkan istitah penguasa menurut Putusan Mahkamah Agung RI No. 66 tahun 1952 disebut sebagai Pemerintah dan menurut Putusan Mahkamah Agtng RI No. 838 tahun 1970 disebut sebagai Penguasa, sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Jo Pasal 1 angka 2 UU No.5 tahun 1986 yang sudah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut sebagai badan atau pejabat y ang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peratur an perundang-undangan yang berlaku, sehingga pengertian tidak ha nya meliputi instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawah Pr esiden akan tetapi termasuk juga Badan/pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan. Dalam praktek di Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kewenangan memeriksa dan menyeles aikan sengketa perbuatan melawan hukum oleh penguasa ( Onrechtmatige Overheids Daad ), pengertian tersebut meliputi : 1. Badan/jabatan inst ansi resmi pemerintah Yaitu dari Pemerintah Pusat, Pe merintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sampai Pemerintahan Kelurahan dan juga lnstansi-instansi resmi pemerinta yang berada di lingkungan eksekutif. 2. Badan/jabatan semi pemerintah Yaitu Badan Usaha Milik Pemerint ah (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti Telkom, PDAM , PLN dan lain-lain termasuk juga Badan /jabatan yang merupakan kerjasama Pemerintah dengan swasta.

PAGE – 4 ============
43. Badan/jabatan Swasta y ang melaksanakan urusan Pemerintahan Yaitu yayasan yang bergerak dibidang yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah akan tetapi dilaksanakan ol eh swasta, seperti Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, Universitas dll. II. PERLINDUNGAN HUKUM DARI PERBUATAN MELAWAN HUKUM Konotasi dan pengaturan perbuatan melawan huku m dalam pasal 1365 KUH Perdata mempunyai konotasi dan pengaturan y ang berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam huk um pidana yang disebut delik atau perbuatan pidana serta mempunyai ko notasi dan pengaturan yang berbeda pula dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, sehingga perlindungan hukum dari masyaraka t terhadap perbuatan melawan hukrm tersebut dapat disalurkan melalui sarana yang berbeda-beda pula. Sarana-sarana perlindungan masyara kat terhadap perbuatan melawan hukum tersebut antara lain: 1. Dilakuakan oleh Badar/pejabat Tata Usaha Negara melalui upaya administratif. – Keberatan = kepada yang mengeluarkan keputusan – Banding administratif = kepada instansi atasan/lain misalnya : BAPEG, KMIGAS dII 2. Melahirkan melalui Peradilan Umum Yaitu terhadap perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan pasal 1365 KUH Perdata. 3. Dilakukan melalu i Peradilan TUN Yaitu terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa yang didasarkan pada ketentuan pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 yang yang sudah diubah dengan UU No. 9 Th. 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

PAGE – 5 ============
5ad.1 Melalui Upaya Administasi Upaya administrasi merupakan s uatu prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah s engketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau Badan huk um perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara. Dasar hukumnya diatur dalam ketentuan pasal 48 ayat (1) dan (2) UUD No. 5 tahun 1986 yang sudah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2004 tentang pengadilan Tata Usaha Negara. Bentuk upaya administrasi terdiri dari dua macam, yaitu : a. Keberatan : apabila penyeles aiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. b. Banding administratif : apabi la penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. Adanya upaya administrasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan TUN yang bersangku tan dan apabila terhadap putusan banding administrasi tersebut masih juga dirasakan belum memuaskan maka persoalannya dapat diajukan ke pengadilan. Dan berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI No . 2 tahun 1991, apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya keberatan maka setelah itu dapat diajukan gugatan ke pengadilan TUN tingkat pertama tapi apabila peraturan dasarnya menentukan adany a banding administatif maka putusannya dapat digugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

PAGE – 6 ============
6Ad.2 Melalui Peradilan Umum Sesuai ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digu gat melalui pengadilan haruslah mengandung unsur-unsur antara lain : a. Adanya suatu perbuatan Perbuatan tersebut baik berbuat ses uatu (aktif maupun tidak berbuat sesuatu (pasifl) padahal dia mempunyai kewajiban untuk membuatnya, kewajiban tersebut tentunya lahir oleh hukum yang berlaku bukan lahir oleh suatu kesepakatan atau kontrak. b. Perbuatan ters ebut melawan hukum Perbuatan melawan hukum disini haruslah diartikan menurut pengertian setelah tahun 1919 yaitu dal am arti yang seluas-luasnya yang meliputi : – Perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. – Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum. – Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku. – Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan – Perbuatan yang bertentangan dengan sik ap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain c. Adanya kesalahan Suatu perbuatan dapat dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dikenak an tanggung jawab secara hukum apabila menemui unsur-unsur : – Ada unsur kesengajaan; – Ada unsur kelalaian/kealpaan – Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf

PAGE – 8 ============
8gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang agar keputusan TUN tersebut dinyatakan batal/ti dak syah dengan atau tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah : a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) Adapun yang dimaksud dengan AAU PB meliputi Azas-azas yang tercantum dalam UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN yaitu: – Azas kepastian hukum – Azas tertib penyelenggaran negaftr – Azas keterbukaan – Azasproporsionalitas – Azas profesionalitas – Azas akuntabilitas Tuntutan utama gugatan di peradil an Tata Usaha Negara adalah pernyataan batal atau tidak sy ah keputusan TUN yang digugat, meskipun dapat disertai tuntutan gant i rugi akan tetapi menurut ketentuan pasal 3 PP No 43 tahun 1991 tentang ganti rugi dan tata cara pelaksanaannya, maksimal hanya lima juta rupiah

PAGE – 9 ============
9Beberapa perbedaan penyeles aian perkara perbu atan melawan hukum melalui peradilan umum dan Peradilan Tata Usaha Negara sbb: Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Umum (Perdata) 1. Subjeknya: Orang/badan hukum perdata melawan Badar/pejabat TUN 2. Subyeknva: Diatur dalam pasal 1 angka 3 – Pasal 3 – pasal2 – Pasal 49 UU Peradilan Tata Usaha Negara 3. Inti tuntutan : Pernyataan batal/tidak syah Keputusan TUN + ganti rugi + Rehabilitasi 4. Ganti rugi : Maksimal 5 juta 1. Subjeknya: Orang dan Badan Hukum privat melawan orang dan Badan Hukum privat serta Badan Hukum publik yang melakukan perbuatan perdata 2. Subyeknya: Diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata 3. Inti tuntutan : Ganti rugi baik materiil dan immateriil yang dinilai dengan uang 4. Ganti rugi : Dapat sebesar kerugian yang dialami atau yang diperkirakan dapat terjadi

PAGE – 10 ============
10III. PERBUATAN PEMERINTAH Negara sebenarnya merupakan suatu organisasi juga seperti halnya badan hukum perdata, akan tetapi organisas inya sangat besar dan sangat pelik susunanya serta dibentuk menurut hukum publik atau Hukum Tata Negara. Sedangkan pemerintah me rupakan bagian dari organisasi negara tersebut yang terdiri dari badan, aparat, inst ansi, jabatan, daerah, wilayah dan sebagainya. Pemerintah yang merupakan bagian dar i organisasi negara mempunyai organ-organ disebut badan at au jabatan Tata Usaha N egara yang mempunyai mandiri dalam statusnya berdasark an peraturan per U ndang-undangan yang berlaku dapat melakukan perbuatan hukum per data dan hukum publik, seperti mengadakan perjanjian, melahirkan hukum posistif dalam bentuk keputusan dari yang bersifat urnum sampai keputusan yang kongkrit dan individual. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 yang sudah dirobah dengan uu No. 9 tahun 2004, Badan atau jabatan TUN adalah Badan/jabatan yang me laksanakan urusan peme rintahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dem ikian ukuran untuk disebut badan atau jabatan TUN adalah siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku melaksanakan urusan pemerintahan , sehingga selain instansi atau jajaran pem erintah dibawah presiden, instansi lain dapat juga disebut badan/jabatan TU N apabila melakukan urusan pemerintahan bahkan pihak swasta sekalipun seperti BUMN, BUMD, Universitas, Rumah sakit dan lain lain. Rumusan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bertaku dalam pasal 1 angka 2 tersebut menunj ukkan bahwa keabsahan perbuatan pemerintah dilahirkan dari kewenanga n yang diberikan oleh negara dan kewenangan tersebut dapat tedadi dari beberapa hal yaitu :

PAGE – 11 ============
111. Kewenang an dari Atribusi Yaitu pemberian wewenang pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh orginal Legislator yaitu MPR sebagai pembentuk konstitusi dan presiden bersama-sama pemerintah yang melahirkan Undang-undang serta DPRD bersama-sama pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah seperti Gubernur yang diberikan wewenang oleh uu tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD untuk meresmikan keanggotaan DPRD. 2. Kewenangan dari Delegasi Yaitu pemberian wewenang pemerint ah berdasarkan pendelegasian dari badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh kewenangan secara atribusi yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang diberikan wewenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah kemudian melimpahkan wewenangnya kepada Badan at au jabatan tertentu dalarn hal ini Badan atau jabatan TIJN yang m endapat limpahan kewenangan tersebut bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya, sehi ngga apabila terjadi perbuatan melawan hukum baik karena sengaja maupun karena kelalaian maka dialah yang dapat digugat untuk mempertanggungjawabkannya. 3. Kewenangan dari Mandat Yaitu pemberian wewenang pemeri ntah berdasarkan hubungan intern seperti Menteri menugask an Dirjen atau Irjennya untuk atas nama Menteri melakukan tindakan hukum mengeluarkan keputusan TUN tertentu. Dalam hal ini tidak terjadi perubahan apa-apa mengena i kewenangan, wewenang tetap ada pada pemberi mandat, sehi ngga apabila terjadi kesalahan maka yang bertangung jawab adalah pemberi mandat ( mandans ) sedangkan penerima mandat ( mandataris ) tidak dapat dikenai pertanggungan jawab karena dia hanya me laksanakan tugas saja tanpa ada pelimpahan wewenang.

105 KB – 15 Pages