by D Sumanto — DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA. Dedi Sumanto dan Syamsinah. Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo, STIE Boalemo Gorontalo.
11 pages

106 KB – 11 Pages

PAGE – 1 ============
Al-Mizan ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 Halaman 152-162 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am MEDIASI DAN HAKAM DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Dedi Sumanto dan Syamsinah Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo, STIE Boalemo Gorontal o Email: bangmanto81@gmail.com ; syamsinah.ina@gmail.com Abstract This paper discusses mediation and hakam (peacemaker ) in procedural law the Religious Courts. This article uses the legal approach and it is analyzed by qualitative descriptive method. The results showed that mediation is a step that is carried out through the Islamic Court judges mediators to facilitate dialogue, assist the parties to clarify the needs and desires of justice seekers, set up guide, assist the parties in rectifying differences of views and work towards an acceptable the parties in the settlement binding. Keywords: mediation, hakam (peacemaker), settling disputes, peace A. Pendahuluan Lahirnya acara mediasi melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya, yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrumen efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Keberadaan mediasi sebagai bagian dalam hukum acara perdata, dapat dianggap sebagai salah satu sumbangan b erharga Prof. Bagir Manan, S.H., MCL. di masa jabatannya. Pasal 130 HIR/154 RBG yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini, yang sudah dirintis sejak tahun 2002 melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Dam ai eks pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan melalui PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator 152

PAGE – 2 ============
Dedi Sumanto dan Syamsinah http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai. 1 Mediasi ini diterapkan sebagai bagian acara dalam perkara p erdata di lingkungan Peradilan Agama dan peradilan umum. Bagi lingkungan Peradilan Agama sendiri, kehadiran seorang mediator dalam suatu perk ara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru. Secara yuridis formal U U No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan disempurnakan lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009, pasal 76 telah menetapkan keberadaan hakam dalam perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara percerai an secara khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya. 2 Dalam beberapa tayangan televisi, sebagian kasus perceraian selebr iti dengan kumulasi gugatan anak ataupun harta bersama dan lainnya, telah menunjukkan adanya respon positif dari Peradilan Agama dalam mengimplementasikan PERMA maupun peraturan sebelumnya yaitu PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Di Media TV diberitakan keterlibatan Komisi Perlindungan Anak dalam mediasi perceraian dengan kumulasi pengasuhan anak seperti dalam kasus Tamara Bleszynski Pasya Binti Zbignew Bleszynski dengan Teuku Rafly Pasya Bin Teuku Syahrul. Di sisi lain permasalahan akan muncul dalam pemeriksaan perka ra perceraian secara tersendiri (tanpa kumulasi). Apakah mediasi juga diterapkan dalam perkara perceraian, sementara itu hakam sebagai bagian dari hukum acara sudah dilegitimasi lebih dahulu dari pada mediasi? Mungkinkah keberadaan mediasi yang didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tetap 1Gede Widhiana Putra, flMediasi,fl http://www.badilag.net, diakses tanggal 12 Juni 2014. 2Secara spesifik dalam bidang perceraian, mediasi dijelaskan dalam QS. al- Nisa/4: 35, dalam bagian pidato Umar bin al Khatab mengenai penyelesaian perk ara oleh seorang hakim, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai al sulhu khairun . Menunjukkan bahwa mediasi sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Pada saat peralihan kepemimpinan Ali ra. dengan Mu™awiyah juga dilakukan dengan mediasi. 153

PAGE – 3 ============
Mediasi dan Hakam dalam Hukum Acara Peradilan Agama Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 harus dilaksanakan di samping juga harus memberlakukan hakam yang didasarkan pada Undang-Undang Peradilan Agama? Apakah pasangan suami isteri yang menganggap perceraian jalan terakhir yang terbaik masih harus mengikuti proses mediasi? Pada gilirannya permasalahan ini akan bermuara pada pertanyaan, Masih perlukah penerapan mediasi dalam perkara perceraian (yang tidak ada kumulasi)? Sudah dilegitimasi lebih dahulu daripada mediasi? Mungkinkah keberadaan mediasi yang didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tetap harus dilaksanakan di samping juga harus memberlakukan hakam yang didasarkan pada Undang-Undang Peradilan Agama? Apakah pasangan suami isteri yang menganggap perceraian jalan terakhir yang terbaik masih harus mengikuti proses mediasi? Pada gilirannya permasalahan ini akan bermuara pada pertanyaan, Masih perlukah penerapan mediasi dalam perkara perceraian (yang tidak ada kumulasi)? Penulis menganggap p ermasalahan ini sangatlah penting untuk dibahas, terutama bagi para praktisi hukum (hakim tingkat pertama pada khususnya). B. Mediasi dalam Sistem Hukum Indonesia Mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantukan pihak tertentu. John Wade mengutip pandangan Folberg dan A. Taylor: fi A comprehensive guide to resolving conflict without litigation, fl dan menurut Laurence Bolle: flMediation is a decision making process in which the parties are assisted by a third party, the mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an outcome to which of them can asset .fl3 Said Faisal juga mengutip pendapat Moor C. W. bahwa pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi– tidak ada mediasi. Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan flbila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi .fl Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi 3John Wade, flSekitar Mediasi,fl MARI (Jakarta, 2004), h. 158. 154

PAGE – 4 ============
Dedi Sumanto dan Syamsinah http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am (mediasi). 4 Mediasi merupakan salah satu dari beberapa penyelesaian sengketa. Berbagai proses penyelesaian sengketa adalah: 1. Litigasi , yaitu di mana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan. 2. Arbitrase , yaitu suatu sistem di mana prosedur dan arbitrer dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat. 3. Konsiliasi proses yang sama dengan mediasi namun diatur oleh undang- undang. 4. Konseling , yaitu di mana ada proses therapeutic yang memberikan nasihat membantu penangan masalah prikologikal. 5. Negosiasi , yaitu adanya unsur diskusi, edukasi, pendekatan persuasive serta tawar menawar dengan pasilitas pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu masalah. 6. Fasilitasi, yaitu suatu proses yang dipergunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak. 7. Case appraisal/neutral evaluation, yaitu suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kehyataan yang ada. 8. Mini Tria, yaitu proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masing-masing organisasi. 9. Provati judging, yaitu suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk mentaati keputusan tersebut. 5 Mediasi berbeda dengan litigasi yang ingin memperoleh hasil akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, berbeda pula dengan konseling karena landasan mediasi tidak berpijak pada faktor psikologis dan perilaku. Demikian pula mediasi berbeda dengan arbitrase, di mana posisi arbitrer ditunjuk untuk memberikan keputusan akhir. 6 Pemberlakuan Mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, 4Said Faisal, flPengantar Mediasi,fl MARI (Jakarta, 2004), h. 70. 5Denaldy Mauna, Mediator Skill Reframing and Questioning in Practice (Jakarta, 2004), h. 132. 6John Wade, flSekitar Mediasi,fl MARI (Jakarta, 2004), h. 158. 155

PAGE – 5 ============
Mediasi dan Hakam dalam Hukum Acara Peradilan Agama Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa. 7 Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution .8 Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan undang- undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari UU. No. 30 Tahun 1999 yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10). Pemberlakuan proses mediasi meliputi seluruh perkara perdata yan g terdapat pada lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pengecualian terhadap perkara perdata hanya berlaku terhadap perkara yan g diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Pasal 4). Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), di mana Hakim mediator/mediator akan memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis (Pasal 11). Pemeriksaan perkara selanjutnya berada pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya (Pasal 19). C. Hakam Mediasi dalam Perkara Perceraian Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan, dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga Isteri untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq . M. Yahya Harahap mengutip pendapat Noel J. Coulson memberi sinonim flarbitratorfl sebagai kata yang sepadan dengan flhakam.fl Begitu juga Morteza Mutahhari mengemukakan kata padanan fl hakam fl dengan 7Wahyu Widiana, flUpaya Penyelesaian Perkara melalui Perdamaian Pada Pengadilan Agama Kaitannya dengan Peran BP4,fl Makalah, disampaikan pada Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta, h. 4. 8Soeharto, flPelatihan Mediator dalam Menyangbut Penerapan PERMA Court Annexed Dispute Resolution ,fl MARI (Jakarta, 2004), h. 12. 156

PAGE – 6 ============
Dedi Sumanto dan Syamsinah http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am flarbiter.fl Menurutnya hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, den gan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan. mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. 9 Sementara itu dalam tatanan hukum di Indonesia, hakam dapat ditemukan pada pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989: flHakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak ke1ua rga suami atau pihak ke1uarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syigoq .fl Untuk lebih jelasnya ayat tersebut perlu pula diperhatikan penjelasannya yaitu, flKalau terjadi perselisiha n antara suami isteri, hendaklah diadakan seorang hakam dari ke1uarga suami dan seorang hakam dari ke1uarga isteri. Keduanya berusaha memperdamaikan antara keduanya, sehingga dapat hidup kembali sebagai suami isteri.fl Pengangkatan seorang hakam dalam hukum acara Peradilan Agama dilakukan setelah sebelumnya didengar keterangan pihak keluarga atau or ang- orang dekat dengan para pihak. Setidaknya ada tiga pasal peraturan perundang- undangan yang berbeda yang mengharuskan kehadiran keluarga ataupun kerabat dekat dalam suatu proses persidangan. Ketentuan tersebut terdapat pada: (a) Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975; (b) Pasal 76 ayat (1) UU. No. 7 Tahun 1989, dan (c) Pasal 134 KHI. Bila dibandingkan antara hukum normatif dan hukum positif mengenai keberadaan hakam, akan nampak adanya pergeseran status hukum hakam dalam pandangan hukum Islam (yang diwakili oleh al- Syafi™i) dengan hakam yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama. Hukum Islam mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang terjadi dengan alasan syi qoq, sementara itu ditemukan pada pasal 76 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, Hakam diangkat dari pihak keluarga suami dan isteri, sedangkan hakam dalam Undang-Undang Peradilan Agama hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat (sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU No. 3/2006). Dalam analisa Abdul Manan, hukum perkawinan Indonesia mengambil hukum zawaj boleh seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dan dalam menentukan hakam mengambil pendapat Sayyid Sabiq yang tidak mengharuskan hakam dari keluarga kedua belah pihak yang bertikai. Demikian halnya dengan penerapan hakam, para ulama berbeda pendapat, salah satunya menerangkan bahwa penerapan hakam dilakukan pada perselisihan yang memuncak dan membahayakan. 10 9M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Karini, 1997), h. 270. 10Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta, Yayasan Al Hikmah, 2001), h. 271. 157

106 KB – 11 Pages