by DANHA JAWA · Cited by 5 — Penunjukan (acungan) adalah pewaris menunjukkan penerusan harta waris untuk pewaris akan tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya.

143 KB – 21 Pages

PAGE – 1 ============
ProsA AS : Prosiding Al Hidayah Ahwal Asy – Syakhshiyah Vol. 01 No. 1, Januari 2019 E – ISSN: 2654 – 378 X P – ISSN: 2654 – 582X 13 PEMBAGIAN WARISAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT JAWA ( Studi Komparasi ) Agus Wantaka 1 , Abdul Rosyid 2 , Eka Sakti Ha bi bullah 3 1 Alumni Pr o di Ahwal A l – Syakhsiyah STAI Al Hidayah Bogor 2,3 D osen Tetap Prodi Ahwal A l – Syakhsiyah STAI Al Hidayah Bogor awantaka@gmail.com ABSTRACT Inheritance law which is part of civil law in Indonesia is still in dualism and pluralism. Among Javanese people, the majority of whom are Muslim in dividing inheritance, there are usually two types of inheritance law that are commonly used, namely dividing inheritance according to Islamic law and according to Javanese customary law. Both of them have recognized the existence and validity of the government, but both of them have dominant differences even though there are several sides in common. The division of inheritance in Islamic Shari’a has been regulated in a standard and permanent manner based on the AlQuran, Assunnah and Ijma ‘ulama, so that every Muslim is obliged to prac tice it, because it is very heavy threat to the servant who rejects this Shari’a and gives a great reward in the form of heaven for obedient servants. Javanese customary law allows inheritance to be carried out before the heir dies and also the distributio n is divided equally when the testator has passed away. When viewed from Islamic law this is not justified. In this paper, the similarities and differences will also be discussed as well as the views of Islamic law concerning the division of the Javanese t raditional inheritance . Keywords: i nheritance, Islamic l aw, j avanese c ustomary . ABST R AK Hukum waris ( yang merupakan bagian dari hukum perdata ) di Indonesia pengaturannya masih bersifat dualism e dan pluralisme. Di kalangan masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam dalam membagi warisan biasanya terdapat dua macam hukum kewarisan yang biasa dipakai , yaitu membagi waris menurut hukum Islam dan menurut hukum adat Jawa. K eduanya memang diakui keberadaan dan ke berlaku an nya oleh pemerintah namun keduanya me miliki perbedaan yang dominan walaupu n ada beberapa sisi kesamaannya. Pembagian warisan dalam syariat Islam telah diatur secara baku dan permanen berdasarkan Alquran, Assunnah , dan i karena sangat berat sekali ancamannya bagi hamba yang menolak syariat ini dan memberikan pahala yang besar berupa surga bagi hamba yang taat. Hukum adat Jawa memungkinkan pewarisan dapat dilak ukan sebelum pewaris meninggal dunia dan juga pembagian dengan cara dib agi sama rata ketika pewaris sudah meninggal dunia. Bila ditinjau dari hukum Islam hal ini tidak dibenarkan. Dalam tulisan ini akan dibahas persamaan dan perbedaanya , juga bagaimana pandangan hukum Islam menyangkut pembagian warisa adat Jawa tersebut . A. P ENDAHULUAN Saat ini pengaturan hukum waris (yang merupakan bagian dari hukum perdata) di

PAGE – 2 ============
14 Indonesia masih bersifat dualisme dan pluralisme. D ikatakan bersifat dualisme dan pluralisme karena setidaknya terdapat empat sistem hukum waris yang merupakan hukum positif yang ditetapkan atau ditegakkan ( enforcement ) pengadilan , yaitu Sistem Hukum Waris Barat, Sistem Hukum Waris Adat , kompilasi hokum Islam, dan Sistem Hukum Waris Islam. 1 Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam, dalam membagi warisan biasanya terdapat dua macam hukum kewarisan yang biasa dipakai yaitu membagi waris menurut hukum Islam dan menurut hukum adat Jawa. Keduanya memang diakui keberadaan dan ke berlakun n ya ole h pemerintah namun keduanya memiliki perbedaan yang dominan walaupu n ada beberapa sisi kesamaannya. Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan yang d alam Perspektif Hu kum Islam d an Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi B. R UMUSAN M ASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1 Komari. (2011). Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris . Jakarta: Bphn Puslitbank – Dep. Hukum d an Ham. h lm . 3. 1. Apa saja persamaan dan perbedaan sis tem pembagian waris menurut hukum I slam dan hukum adat J awa? 2. Bagaimana pandangan hukum I slam terh adap pembagaian waris adat Jawa ? C. S TUDI P USTAKA dan K ERA N GKA T EORITIK 1. Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam a. Pengertian Hukum Waris Islam Kata waris dalam kamus bahasa A rab berasal dari kata : Artinya pusaka, harta peninggalan mayat . 2 M enurut istilah, ilmu kewarisan ( f ) adalah : Fiqih yang ber kai tan dengan masalah waris dan ilmu perhitungan yang menyampaikan pengetahuan khusus setiap pemilik hak pusaka pada hak – hak bagiannya dari harta peninggalan . 3 Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pada pasal 171 H uruf (a), yang dimaksu d h ukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak ke pemilikan harta peninggalan ( tirkah ) pewaris, menentukan siapa – siapa yang 2 Mahmud Yunus. (2007). Kamus Arab – Indonesia . Jakarta: Mahmud Y unus wa Dzurriyyah. hlm . 496. 3 Hidayat Budi Ali. (2009). Memahami D asar – D Bandung: Angkasa. hlm: 11.

PAGE – 3 ============
15 berha k menjadi ahli waris , dan berapa bagiannya masing – masing. 4 b. Sumber Hukum Warisan Islam Hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum Islam, mempunyai sumber hukum yang sama dengan sumber hukum Islam. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuat u . 5 Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam, kadang – kadang disebut dal il hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Menurut Imam Syafi i dalam kitab Al – Risala h fi Us h ul A l – F i q h sumber hukum Islam ada empat yaitu: (1) Al – Q ur an ; (2) As – Sunnah atau Al – H adis ; (3)Al – I ; d a n (4) Al – Qiyas . 6 A l – dan A l – Qiyas itu sesungguhnya adalah jalan atau metode atau cara yang dipergunakan oleh akal pikiran manusia baik sendiri – sendiri dalam melakukan analisa ( qiyas ) maupun secara bersama – sama mencapai suatu konsensus ( ) dalam usaha menemukan atau menentukan kaidah h ukum , dan akal pikiran manusia dalam kepustakaan disebut atau ijtihad . 7 4 Kompilasi Hukum Islam. ( t.t ). (Permata Press), h l m. 53. 5 Poerwadarminto . ( 1976) . Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka. hlm . 974. 6 Mohamad Daud Ali. (2011). Hukum Islam . hlm . 73. 7 Mohamad Daud Ali. (2011). hlm. 115 . Menurut Ari j ulmanan, sumber huku m Islam terdiri dari: (1) Al – Qur an, (2) Sunnah Rasul, dan (3) ijtihad. 8 Al – Qur’an adalah wahyu Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sala m melalui perantara Malaikat Jibril, yang membacanya akan mendapatkan pahala karena termasuk ibadah , 9 dan dengan di dengarkan atau diperdengarkannya, juga untuk diperhatikan atau direnungkan (tadabbur) dan kemudian untuk diaktualisasikan secara aplikatif. 10 As – Sunnah menurut para a hli h adi ts ( muhaddits in ) adalah apa yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), sifat, atau sirah beliau. Dengan definisi ini maka makna A s – Sunnah adalah sama dengan Hadits. 11 Ijtihad dari segi istilah berarti menggunakan seluruh kemampuan dengan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum syara . Orang yang berijtihad disebut mujtahid . i jtihad dapat dilakukan perorangan disebut ijtihad fard h i , dan bila 8 Arijulmanan. (2014). Dinamika Fiqh Islam d i Indonesia. Al – Mashlahah : Jurnal Hukum d an Pranata Sosial Islam, 2 ( 04 ), hlm. 405 . 9 – Qaththan ( 2011 ) . P engantar Studi Ilmu Al – Quran . Jakarta: Pustaka Al – Kautsar. hlm . 18 . 10 Lihat Rahendra Maya. (2014). Perspektif Al – Al – Tadabbur . Al – Tadabbur : Jurnal Ilmu Al – 11 Ali Maulida. (2014). Inkarus Sunnah d ari Kalangan Muslim d alam Lintasan Sejarah . Tadabbur : Jurnal Ilmu Al – Qur’an dan Tafsir, 1 ( 01 ), hlm . 130.

PAGE – 4 ============
16 d ilakukan secara kolektif disebut Ijtihad . 12 c. Sist e m Hukum Kewarisan Islam Menuruh Hazairin, ada tig a macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem kewarisan individual, kolektif , dan mayorat. 13 Siste m kewarisan berdasarkan kitab suci Al – Quran ialah sistem individual, dimana setelah pewaris wafat, harta peninggalannya dapat diadakan pembagian kepada para waris pria dan wanita sesuai ha k – nya masing – masing. 14 d. Asas Hukum Kew aris an Islam Asas – as as kewarisan dalam hukum Islam a ntara lain : 1. Asas Ijbari Asas ijbari yang terdapat dalam hukum wa ris Islam mengandung arti penga lihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentua n Allah tanpa digantungkan dengan kehendak pewaris atau ahli warisnya . Asas ijbari d apat dilihat dari beberapa segi : a. Pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. 12 Ahmad Azhar Basyir. (1990). Hukum Adat b agi Umat Islam . Jogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. hlm . 14. 13 Hazairin. (1982). Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al – Quran dan Hadis. Jakarta: Tintamas, hlm . 13. 14 Hilman Hadikusumo. (1991). Hukum Waris Indonesia – Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu , dan Islam . Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm . 21. b. Jumlah harta yang sudah diten tukan bagi masing – masing ahli waris. 15 2. Asas Bilateral Asas bilateral dalam hukum waris Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak: dari kerabat keturunan laki – laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam S urat Al – Nisa (4) A yat 7,11,12 dan 176 . 16 3. Asas Individual Asas Individu dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi – bagi kepada ahli w aris untuk dimiliki secara per orangan. 17 4. Asas Ke adilan Berimbang Keadilan dalam hukum waris Islam dapat diartikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Misalnya laki – laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan ke wajiban yang dipikulnya masing – masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. 18 5. Asas Semata Akibat Kematian Hukum Islam telah menetapkan bahwa kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta telah meninggal dunia. Pada asas ini menggambarkan bahwa 15 Aulia Mutiah. (2016). Hukum Islam ; Dinamika S e putar Hukum Keluarga . Yogyakarta: PT. Pustaka Baru. hlm . 147. 16 Mohamad Daud Ali. (2011). Hukum Islam . hlm . 316. 17 Aulia Mutiah. (2016). hlm . 148 – 149. 18 Aulia Mutiah.(2016). hlm . 149.

PAGE – 5 ============
17 huk um waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan , yaitu sebagai suatu akibat dari kematian, dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup. 19 e. Rukun Kewarisan dalam H ukum Islam Rukun merupakan bagian dari per masalahan dari setiap perkara. S uatu perkara tidak aka n sempurna jika salah satu rukun tidak dipenuhi. Misalnya perkara shol at, apabila salah satu rukun sha lat tidak dipenuhi maka sh a lat seseorang itu tidak sah. Begitu juga dengan perkara waris, jika rukun waris tidak dipenuhi maka perkara waris mewaris tidak sa h. Adapun ruku n waris adalah harta w arisan ( mauruts atau tirkah ), pewaris ( muwarits ), ahli waris ( warits ). 20 2. Harta Warisan Menurut hukum waris Islam , b ahwa yang dimaksu d harta warisan adalah semua harta yang ditinggalkan pewaris karena wafatnya, yang telah bersih dari kewajiban – kewajiban keagamaan dan keduniaan yang dapat dibagi – bagi kepada para ahli waris pria atau wanita sebagai mana telah ditentukan berdasarkan kitab Al – Qu r an dan Al – Hadis serta kesepakatan para ulama. 21 Deng an demikian harta warisan (Arab : 19 Aulia Mutiah.(2016). hlm . 150. 20 Aulia Mutiah. (2016). hlm . 153. 21 Hilman Hadikusumo. (1991). hlm . 51. mirat s ) dalam Islam dapat digambarkan sebagai berikut : 22 a. Harta waris itu adalah harta yang benar – benar hak milik pewaris almarhum yang berwuju d benda maupun tidak berwu ju d yang telah bersih dari kewajiban keagamaan dan keduniawian yang dapat dibagi – bagi kepada para waris b. Agar harta warisan itu bersih dan dapat dibagi – bagi , maka h arta itu sudah dikurangi dengan : S emua biaya untuk keperluan pengobatan ketika pewaris sakit sampai wafatnya . S emua biaya untuk mengurus jenazah pewaris . S emua kewajiban agama yang belum dipenuhi pewaris, seperti zakat dan sedekah infak atau wakaf yang pernah dinyatakan n ya . S emua kewajiban duniawi yang belum dipenuhi seperti hutang , tebusan , dan s ebagainya. Harta yang telah diwasiatkan pewaris ketika hidupnya yang jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris yang ditinggalkan. M enurut Kompilasi Hukum Islam, P asal 171 H uruf e : Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan perawatan selama sakit, sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah ( tajhiza ), pembayaran hutang , dan pemberian untuk kerabat. 23 3. Pewaris 22 Hilman Hadikusumo. (1991). hlm . 51. 23 Kompilasi Hukum Islam. ( .tt. ). hlm . 53.

PAGE – 6 ============
18 Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. S eseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan tersebut dilaksanakan pada saat menjelang kematian. 24 4. Ahli Waris Menurut Ali Ash – Sh a buni, a hli waris yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan ( nasab ), atau ikatan pernikahan atau lainnya. 25 Apabila dili h a t dari segi bagian – bagian yang diterima dapat dibedakan: a. Ahli waris ash h ab al – furudh , yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti ½, 1/3, atau 1/6 b. Ahli waris ashabah , yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ash h ab al – furud. c. Ahli waris zhawi al – arham , yaitu ahli waris karena hubung an darah dan menurut ketentuan Al – berhak menerima warisan. 26 Apabila dilihat dari hubungan kek e rabatan jauh dekatnya, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan : 24 Zainudin Ali. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Drafika, h lm . 46. 25 Muhammad Ali Ash – Sh a b u ni. (1995). Pembagi an Waris Menurut Islam . Bandung: Cv. Diponegoro, hlm . 39. 26 Ahmad Rofiq. (1998). Fiqih Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , hlm . 49. 1. Ahli waris hijab , yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain. 2. Ahli waris mahjub , yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli war is ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada. 27 Hijab ( k eadaan menghalangi) ada dua : pertama , hijab nuqsan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami yang seharusnya menerima bagian 1/2 , karena bersama anak perempuan bagiannya terkurangi menjadi ¼. Ibu, sedianya menerima 1/3, karena bersama anak bagiannya terkurangi menjadi 1/6. Kedua hijab hirman yaitu menghalangi secar a total , misalnya saudara perempuan kandung semula berhak menerima b agian ½, tetapi karena bersama anak laki – laki menjadi tertutup. 28 5. Pewarisan Pewarisan adalah cara bagaimana melaksanakan penerusan atau peralihan atau pembagian harta peninggalan dari pewaris kepada waris. 29 Pewarisan dalam hukum Islam berlaku setelah pewaris wafat, jadi tidak ada pewarisan tanpa ada kematian . Sering dijumpai kasus kelebihan atau keku r angan harta dalam praktek 27 Ahmad Rofiq. (1993). hlm . 50. 28 Ahmad Rofiq. (1993) . hlm . 72 29 Hilman Hadikusumo. (1991). hlm . 207.

PAGE – 8 ============
20 setelah bagian suami atau istri diserahkan ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya. 33 d. Cara M usyarakah S ecara bahasa m usyarakah berarti berserikat antara dua orang atau lebih dalam sesuatu hal (urusan). Dalam hal waris terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat suatu kejadian bahwa saudara – saudara sekandung (tunggal atau jamak) as h abah tidak mendapat harta sedikit pun, karena telah dihabiskan ahli waris ash h ab al – furud h . 2. Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat Jawa a. Pengertian Hukum Waris Adat Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan – aturan hukum yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. 34 IGN. Sugangga mengutip pendapat tradisional orang jawa bermaksu d mengoperkan harta keluarga kepada keturunannya, yaitu terutama kepada anak laki – laki dan anak – anak perempuan. Dan proses meneruskan dan mengoperkan barang – barang harta keluarga kepada an ak – anak, kepada keturunan keluarga itu, telah dimulai selagi orang tua masih hidup. Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki – laki dan a nak 33 Ahmad Rofiq. (1998). hlm . 108. 34 Hilman Hadikusumo. (2015). h lm . 7. perempuan dalam hal menerima harta warisan dari orang tuanya. 35 b. Siste m Kewarisan Adat Jawa Masyarakat Indonesia mengenal tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem kewarisan individual, kedua sistem kewarisan kolektif , dan ketiga sistem kewarisan mayorat 36 . Sistem kewarisan individual ialah bahwa setiap waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing – masing seperti yang be rlaku dalam masyarakat parental di Jawa. 37 3. Sumber Hukum Adat Beberapa ahli hukum adat mengemukakan bahwa sumber hukum ber v ariasi. Van Vollen Hoven m engatakan sumber hukum adat adalah kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat, dan pencatatan hukum oleh raja – raja, seperti di Jawa Timur , K itab Hukum Ciwasana oleh R aja Darma Wangsa, dan Kitab Hukum Gajah Mada Kanaka perintah membuat kitab hukum Adigama , di Bali K itab H ukum Kutara Manawa . Menurut Djojodiguno su m ber hukum adat termasuk ugeran – ugeran (kaidah atau norma) yang langsung timbul sebagai 35 IGN , Sugangga . ( 1993 ) . Hukum Waris Adat Jawa Tengah Naskah Penyuluhan Hukum . Semarang: Fakultas Hukum UNDIP. hlm . 1. 36 Tolib Setiady. ( 2009 ) . Intisari Hukum Adat Indonesia d alam Kajian Kepustakaan . Bandung: Alfabeta. hlm . 285. 37 Hilman Hadikusumo. (2015). hlm . 24 – 25

PAGE – 9 ============
21 pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasny a sebagai rasa keadilannya dalam hubungan pamrih. 38 4. Asas – Asas Hukum Waris Adat Hukum kewarisan adat yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terdiri dari lima asas: Asas ketuhanan dan pengendalian diri, asas kesamaan dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan k ekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan. 39 5. Unsur – U nsur K ewarisan Dalam hukum waris adat atau dimana saja persoalan hukum waris itu akan dibicarakan, maka ia akan menyangkut tiga rukun/unsur yaitu: pertama , adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, kedua , adanya pewaris , ketiga , adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan mungkin juga bukan ahli waris. 40 f. Harta warisan IGN. Sugangga menyatakan , m enurut hukum adat Jawa Te ngah harta warisan terdiri dari : 1. Barang a sal atau baran g gawan , yang terdiri lagi atas ; pertama , b arang pusaka, yaitu barang – barang yang diwaris i secara turun tem urun dari leluhurnya. Contoh: keris, tombak, 38 Komari. (2001). Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris . Jakarta: Bphn Puslitbank Dep. Hukum dan Ham. 39 Zainuddin Ali. (2008 hlm . 9. 40 Hilman Hadikusumo. (2015). hlm . 3 – 4. k itab – kitab, dan lain – lain , kedua , b arang bawaan atau gawan , yaitu barang yang dibawa oleh masing – masing pihak yaitu suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung , ketiga , b arang hadiah yang diperoleh secara pribadi selama perkawinan berlangsung, misalnya tanah atau sawah yang diperoleh oleh masing – masing pihak suami atau istri sebagai warisan. Hadiah berupa kalung, cincin, atau barang – barang lainnya yang didapat dari hadiah perkawinan atau bekal perkawinan. 2. Barang gono – gini. Barang – barang atau harta ini dihasilkan oleh suami istri secara kerja sama gotong – royong, sering juga dinamakan harta atau bar a ng – barang pe ncaharian bersama. Harta ini di J awa tengah merupakan hak ber sama suami istri . 41 g. Pewaris Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada waris atau waris. tegasnya pewaris adalah empunya harta peninggalan atau empunya harta warisan. 42 Pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris dalam susunan kekerabatan yang cenderung 41 IGN. Sugangga. (1993). hlm . 12. 42 Hilman Hadikusumo. (2015). hlm . 13.

PAGE – 10 ============
22 mempertahankan garis keturunan parental atau pihak kedua orang tua (ayah dan ibu) bersama, sebagaimana berlaku di kalan gan masyarakat Jawa – Madura, adalah terutama ayah dan ibu bersama, atau ayah atau ibu yang hidup terlama, begitu pula kakek atau nenek ke atas baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu menjadi pewaris bagi anak cucu mereka . 43 h. Ahli waris Pada m asyarakat adat Jawa yang pertama berkedudukan sebagai ahli waris adalah anak pria dan wanita se rta keturunannya (cucu – cucunya) . J ika pewaris tidak mempunyai anak sama sekali, tidak pula mempunyai anak pupon atau anak angkat dari anak saudara atau dari anak orang lain, maka harta akan diwarisi berturut – turut oleh orang tua, bapak atau ibu pewaris, dan apabila tidak ada baru saudara – saudara kandung pewaris atau keturunannya, dan jika ini tidak ada pula barulah kakek atau nenek pewaris. Dan apabila kakek dan n enek pewaris juga tidak ada maka diberikan kepada paman atau bibi, baik dari garis ayah maupun dari garis ibu pewaris. Jika sampai tingkat ini tidak ada maka akan diwariskan oleh anggota keluarga lainnya. 44 Menurut Sudiyat, dalam hukum adat Jawa para ahli w aris dapat dikelompokkan dalam tata urutan utama sebagai berikut: 1. K eturunan pewaris; 43 Hilman Hadikusumo. (1991). h lm . 29 44 Hilman Hadikusuma. (1990) . hlm . 72. 2. O rang tua pewaris; 3. S audara – saudara pewaris atau keturunannya, dan 4. O rang tua dari orang tua pewaris dan keturunannya . 45 i. Pewarisan Pewarisan adalah suatu proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris. Proses pewarisan ini dapat terjadi pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi pada waktu orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu dimulai pada waktu orang tua (pewaris) ma sih hidup dengan cara pemberian kemudian apabila masih ada sisa harta yang belum diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia. Pada masyarakat Jawa cara pembagian warisan didominasi oleh dua sistem kewarisan yang terjadi ketika pewaris masih hidu p dan setelah pewaris meninggal. 46 1. Sebelum Pewaris Wafat Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan be r bagai cara yang berbeda, tetapi secara substansi tetap sama, di antaranya yaitu : P enerusan atau P engalihan ( L intiran) Pengalihan ( lintiran ) atau penerusan harta kekayaan pada saat pewaris masih hidup adalah diberikannya harta 45 Imam Sudiyat d an Agus Sudaryanto. (2010). Studi Aspek Antologi Pembagian Waris Adat Jawa. Jurnal Mimbar hukum , 22 (0 3 ). 46 Anggita Vela.(2015). Pembagian Waris p ada Masyarakat Jawa Ditinjau d ari Hukum Islam d an Dampaknya. Jurnal As – Salam , 4(02) , hlm . 75.

PAGE – 11 ============
23 kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan sebagai bekal bagi anak – anaknya untuk melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga. 47 P enunjukan ( A cungan ) Penun jukan ( acungan ) adalah pewaris menunju k kan penerusan harta waris untuk pewaris akan tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya saja, mengenai kepemilikan masih sepenuhnya milik pewaris. Apabila penerusan atau pengalihan (lintiran) mengakibatkan berpindahnya penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan sebelum pewaris wafat, maka dengan penunjukan ( acungan ) penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan baru berlaku sepenuhnya kepada waris setelah pewaris wafat. 48 Pesan atau Wasiat ( W elingan atau W ekasan ) Pesan ( welingan ) ini biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan pergi jauh seperti naik haji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris benar – benar tidak pulang atau benar – benar meninggal. J ika pewaris masih pulang atau belum neninggal pesan ini bisa dicabut kembali. 49 2. Setelah Pewaris Wafat Menurut Koentjaraningrat, dalam hal pembagian waris adat Jawa para ahli 47 Anggita Vela. (2015). hlm . 77. 48 Hilman Hadikusuma. (1990) . hlm . 97. 49 Hilman Hadikusuma. (1990). hlm . 99. etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui kes ulitan dalam mendeskripsi kan adat pembagian warisan pada masyarakat Jawa, walaupun para ahli hukum adat telah berhasil mencatat peraturan – peraturan normatif mengenai hukum adat waris Jawa dengan rapi. Norma pembagian harta warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam, sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu: berdasarkan cara sapikul sagèndhongan , atau bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya ( c ara dum dum kupat atau sigar semangka ) . 50 1. Cara sapikul sagendhongan Secara har fiah, kata sapikul sagendhongan berarti satu pikul satu gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki – laki mendapat bagian warisan dua ( sapikul ) berbanding satu ( sagendhongan ) dengan perempuan. Seperti halnya laki – laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang. Sementara perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya adalah bagian anak laki – laki dua kali lebih 50 Koentjaraningrat. ( 1994 ) . Kebudayaan Jawa . Cetakan ke – 2. Jakarta: Balai Pustaka. hlm . 161 .

143 KB – 21 Pages