by PHAP Agama — Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan, pemeriksaan Sehingga dapat disimpilkan bahwa hukum acara Peradilan Agama.
78 pages

80 KB – 78 Pages

PAGE – 1 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 1 BAB I PENGERTIAN, SEJARAH, AZAZ DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 1. Pengertian dan Sejarah Hukum Acara a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum ac – ara perdata merupakan rangkaian peraturan – peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka penga – dilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan – peraturan hukum perdata. Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum acara itu meng – abdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkem – bangan dalam hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan sesuai hukum acaranya. MH Tirtaamidjaya mengatakan bahwa hukum acara perdata ialah akibat yang timbul dari hukum perdata materiil. Sementara soepomo berpendapat bahwa tugas hakim di peradilan dalam kasus perdata ialah mempertahankan tata hukum perda ta, men – etapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Sudikno Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara perdata ialah peratiuran hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. 1 Konkritnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannya 1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Y ogyakarta, Libert y , 1988, h. 28, lihat juga A. T . Hamid, Kamus Y urisprudensi dan beberapa Pengertian tentang Hukum Acara Perdata, Jakarta, Bina Ilmu, 1984, Retnowulan dan Iskandar O eripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam T eori dan Praktek, Jakarta, Mandar Maju, 1989.

PAGE – 2 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 2 dan pelaksanaannya daripada putusannya. Karena itu sesuai dengan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No – mor 3 tahun 2006 dinyatakan bahwa acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang – undang Adpun perkara – perkara dalam bidang perkawinan berlaku hu – kum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan. 2 Sehingga dapat disimpilkan bahwa hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau bagaimana bertindak di muka pengadilan agama dan bagaimana cara hakim be r – tindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar – benar tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar. b. Sejarah Hukum Acara di Indonesia Berbicara mengenai sejarah hukum perdata, maka ada dua hal yang diuraikan yaitu tentang sejarah ketentuan perundang – undangan yang mengatur hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradi – lan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesia Regle – ment (HIR). HIR ini mengatur tentang acara dibidang perdata dan bi – dang pidana. Dengan berlakunya UU No. 8 tahun 1981 tentan kitab un – dang – undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal – pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku. Nama semula dari Herziene Indonesia Reglement (disingkat HIR) adalah Inlandsch Reglement (IR), yang berarti reglement Bumi Put – era. Perancang IR adala h Mr. HL Wichers, waktu itu presiden dari 2 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Y ogyakarta, Pustaka Pelaja r , 1996, h. 9

PAGE – 3 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 3 Hooogerechtshop, yaitu badan pengadilan tinggi di Indonesia di Za – man kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah reglement (peratuan) tentang golonga n bumi putera. Pembaharuan IR menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941 – 44) ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata di muka Pengadilan Negeri. Yang dinamakan pembaharuan pada IR itu sebetulnya hanya terjadi dalam bidang acara pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. Teruta – ma pembaharuan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penutut umum yang berdiri sendiri dan langsung dibawah pimpinan procereur General , sebab dalam IR apa yang d inamakan jaksa itu pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih dari pada seorang bawahan dari asisten residen, yang adalah seorang pejabat pamong praja. Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan dibagi atas peradilan guber nemen dan peradilan pribumi. Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar jawa dilain pihak. Dibedakan peradilan untuk golongan Eropa (Belan – da) dan untuk golongan Bumiputera. Pada umumnya peradilan Gu – bernemen untuk golongan Eropa pada tingkat pertama ialah Raad van justitie sedangkan untuk golongan Bumiputera ialah landraad . Kemu – dia Raad van Justitie ini juga menjadi peradilan banding untuk golon – gan pribumi yang diputus oleh landraad. Hakim – hakim pada kedua macam peradilan ters ebut tidak tentu. Banyak orang Eropa (Belanda) menjadi landraad. Dan adapula orang Bumiputera di Jawa menjadi ha – kim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa. 3 Orang timur asing dipecah dalam urusan peradilan ini. Dalam perkara perdata, orang Cina tunduk pada sistem Peradilan di Eropa sedangkan pada perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiput – era. Pada puncaknya peradilan Hindia Belanda ada Hoogerechtschop itu ada procureur general (Semacam Jaksa Agung). Sebagaimana telah dis ebutkan dimuka, bentuk peradilan gubernemen di Jawa Madura di satu pihak dan di luar Jawa Madura di lain pihak. h. 3 3 M. T aufik Makaro, Pokok – pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, P T . Rineka Cipta, 2004,

PAGE – 4 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 4 Begitu pula, hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang – undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata – mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Hukum harus dilaksanakan. Siapakah yang melaksanakan hu – kum? Dapatlah dikatakan, bahwa setiap orang melaksanakan hukum. Seti ap hari kita melaksanakan hukum. Pelaksanaan dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata, dapatlah berlangsung secara diam – diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi, bahwa hukum materiil perdata itu di langgar se – hingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimban – gan kepentingan di dalammasyarakat. Dalam hal ini amaka hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan atau ditegaka n. 4 Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan – peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. B. Azaz – azaz Hukum Acara di Peradilan Agama Untuk menerapkan hukum acara dengan baik maka perlu dike – tahui asas – asasnya. Asas – asas hukum peradilan agama ialah sebagai berikut: 5 1. Asas Personalitas KeIslaman Asas pertama yakni asas Personalitas KeIslaman yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam. 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, h. 1 5 Suryadi, Hukum Acara Peradilan Agama, Makalah dalam Pelatihan Calon Advokat di Peradilan Agama, Departemen Kehakiman, 4 – 10 Oktober 1999, h. 1

PAGE – 5 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 5 Penganut agama lain diluar Islam atau yang non Islam, tidak tunduk dan dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan perad i – lan agama. Asas Personalitas ke Islaman diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1. Dari penggarisan yang dirumuskan dalam ketiga ketentuan te rsebut, dapat dilihat asas per – sonalitas ke Islaman sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan agama. Kalau begitu ketun – dukan personalitas mus lim kepada lingkungan Peradilan Agama, – perdata. Ketundukan bidang personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat khusus sepanjang bidang hukum perdata tertentu. Untuk lebih jelas, mari kita rangkai ketentuan pasal 2 dengan rumusan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga. Pasal 2 berbunyi salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perdata ter – kemudian Penjel asan Umum dimaksud sekaligus mengulang dan menerangkan apa – apa yang termasuk kedalam bidang perdata tertentu yang Agama merupakan pengadi – lan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara antara o rang – orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah yang ber – Umum tersebut sama dengan apa yang dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1. Jika ketentuan pa sal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ke tiga serta pasal 49 ayat 1 diuraikan, dalam asas personalitas ke Islaman yang melekat membarengi asas dimaksud: Pihak – pihak yang bersengketa harus sama – sama pemeluk agama Is – lam, Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara – perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah, dan Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut be r – dasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya be r – dasarka n hukum Islam. Analisa di atas memperingatkan, asas personalitas keIslaman har –

PAGE – 6 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 6 us meliputi para pihak yang bersengketa. Kedua belah pihak harus sa – ma – sama beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengketanya tidak ditundukan ke Pengadilan Agama. Dalam hal yang seperti ini, sengketa tunduk kepada kewenangan Peradilan Umum. Begitu pula landasan hubungan hukumnya, harus berdasarkan hukum Islam. Jika hubungan hukum tidak berdasarkan hukum Is – lam, maka sengketa mengadil i wewenang Peradilan Umum, misalnya hubungan hukum ikatan perkawinan antar suami isteri adalah hukum barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, asas personalitas keIs – laman mereka ditiadakan oleh landasan hukum yang mendasari ter – jadinya perkawinan. Oleh karena sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tin – dak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan surat dari Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang di – ajukan kepada ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Isi pokok nya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan. Berarti orang yang melangsungkan pernikahan secara Islam, perkaranya tetap wewenang Pengadilan Ag ama sekalipun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi. Jadi penerapan asas personalitas ke Islaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisahkan dengan dasar hubungan hukum. Kesempurnaan dan kemutlakan asas personalitas keIslaman harus didukung ole h hubungan hukum berdasarkan hukum Islam, barulah Peradilan Agama, serta hukum yang mesti diterapkan menyelesaikan perkara, harus berdasarkan hukum Islam. Bagaimana meletakan patokan asas person alitas keIslaman? Letak patokan asas personalitas KeIslaman berdasarkan patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan. Maksud patokan menentukan keIslaman seeorang didasarkan pada ng bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam pada dirinya sudah melekat asas personalitas keIslaman. Faktanya dapat ditemu – kan di KTP, sensus kependudukan, SIM dan surat keterangan lain. Bisa juga dari kesaksian, sedang mengenai patokan asas personalitas ke Islaman berdasar hubungan hukum, ditentukan oleh

PAGE – 8 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 8 ingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak dia – jukan kepadanya. Hanya yang menyelenggarakan prosesnya adalah negara. Namun demikian, apabila sudah datang perkara kepadanya, maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau hukum belum jelas. Larangan bahwa seorang hakim tidak boleh menolaknya karena hakim dianggap tahu akan hukumnya ( Ius Curia Novit ). Dan kalau sekiranya seorang hakim tidak menemukan huk um secara tertulis ia wajib menggali, memahami dan menghayati hukum yang sudah hidup dalam masyarakat. 7 4. Hakim bersifat Pasif Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan. Sebaliknya hakim harus aktif dalam memimpin jalannya pesidan – gan, membantu kedua pihak dal am menemukan kebenaran, tetapi da – lam memeriksa perkara perdata hakim harus bersifat tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak. Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat menghalang – halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pen – cabutan gugatan. Sesuai dengan pasal 130 HIR, 154 R.Bg. Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding ataupun tidak itupun bukan kepentingan daripada hakim (pasal 6 UU 20 tahun 1947). Jadi pengertian pasif disinilah adalah hakim tidak memperluas pokok sengketa. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa ha – kim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, dan harus berusaha sekeras – keras – nya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapi – h. 6 7 M T aufik Makaro, Pokok – pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, P T . Rineka Cipta, 2004,

PAGE – 9 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 9 anya peradilan. Hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah pihak serta menunjukan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka. Karenanya dikatakan bahwa sitem HIR adalah aktif, berbeda dengan sistim Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadi – lan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi masyarakat. Dari diri ha kim diharap – kan tegaknya keadilan karena ia orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. 5. Sifatnya terbukanya persidangan Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dipe rbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan. Tujuan daripada asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak – hak asasi manusia da – lam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradi – lan dengan mempertanggungjawabkan pemeri ksaan yang fair, memi – hak serta putusan yang adil kepada masyarakat, seperti tercantum dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 tahun 1970 diubah dalam pasal 19 UU No. 4 tahun 2004. 8 Apabila putusan dinyatakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak me m – punyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Di dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, tetapi kalau didalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang dujatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini tujuan asas ini sebagai sosial kontrol. Asas terbukanya persidangan tidak mem – puyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang – undang atau apabila berdasarkan alasan – alasan yang penting yang dimuat didalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup, dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinahan sering dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu 8 M. Y ahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1989, h. 57

PAGE – 10 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 10 sebelum dinyatakan tertutup. 6. Mendengar Kedua Belah Pihak Didalam hukum acara perdata kedua belah pihak harus diperlaku – kan sama, hakim tidak boleh memihak dan harus mendengar kedua belah pihak. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mem bedkaan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama – sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing – masing harus diberi kes – empa tan untuk memberi pendapatnya, bahwa kedua belah pihak har – Hal ini berarti hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi ke s – empatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga pen – gajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak sesuai dengan pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, pasal 145 ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv. 9 7. Putusa n Harus Disertai Alasan – alasan Semua putusan pengadilan harus disertai alasan – alasan putusan yang dijadikan dasar untuk megadili. Hal ini sesuai dengan pasal 25 UU No. 4 tahun 2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg. Alasan – alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim ter – hadap masyarakat, sehingga mempunyai nilai obyektif. Karena adan – ya alasan – alasan itu putusan mempunyai wibawa bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya. Betapa pentingnya alasan – alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA, yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan merupakan ala – san untuk kasasi dan harus dibatalkan. Untuk lebih mempertanggungjawabkan putusan sering dicari du – kungan dari yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan yang mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau yang telah pernah diputuskan sendiri saja. 9 M T aufik Makaro, Pokok – pokok Hukum Acara Perdata, h. 12

PAGE – 11 ============
MODUL PRAKTIKUM PERADILAN AGAMA 11 the binding force of namun memang janggal kiranya kalau hakim memutuskan bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan penga – dilan atasannya mengenai perkara yang sejenis, karena menunjukan tidak adanya kepastian hukum. Tetapi sebaliknya hakim harus mengi – kuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia harus berani kalau se ketika harus meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan zaman atau keadaan masyarakat. Sebagai contoh klasik dapat disebutkan putusan HR tanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan melawan hukum yang meninggalkan pendapat HR sebelumnya. Sekalipun kita tidak menganut the binding force of precedent, tetapi pada kenyataannya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat atau berkiblat pada putusan pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara yang sejenis. Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk menda – patkan guna mempertanggungjawabkan putusan hakim didalam per – timbangannya. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sikap obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendi – ri menyebabkan putusan hakim bernilai obyektif pula. Betapa penting – nya ilmu pengetahuan bagi hakim, dikatakan oleh Scholten bahwa den – gan mengikuti ilmu pengetahuan ini maka hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya didalam sistem hukum. Tanpa itu putusan akan mengambang terlalu subyektif dan tidak meyakinkan meskipun dapat dilaksanakan. Ilmu pengetahuan sebagai sumber pula dari hu – kum acara perdata. 8. Beracara Dikenakan Biaya Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 4 ayat 4,2,5 ayat 4 UU No. 4 tahun 2004, pasal 21 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192 – 94 Rbg.) 10 Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materei. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dike – luarkan biaya. 10 Ibid., h. 7

80 KB – 78 Pages