Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan.

112 KB – 14 Pages

PAGE – 1 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 1SEPUTAR BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) A. Pengertian BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundan g-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Pero lehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Pero lehan Hak Atas Tanah dan Bangun. Dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana te lah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (disebut dengan UU BPHT B), memberikan pengertian mengenai BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak . Jadi BPHTB adalah sama dengan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU BPHTB menyebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasny a, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Poko k-Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan pe raturan perundang-undangan lainnya. Hak Atas Tanah Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud ialah : 1. hak milik; 2. hak guna usaha; 3. hak guna bangunan; 4. hak pakai; 5. hak sewa; 6. hak membuka tanah; 7. hak memungut hasil hutan; dan 8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang sert a hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak yang sifatnya sementara tersebut, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pert anian diatur untuk membatasi sifat- sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di da lam waktu yang singkat.

PAGE – 2 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 2B. Objek , Subjek dan Wajib Pajak BPHTB Objek BPHTB Dalam Pasal 2 UU BPHTB, yang menjadi ob jek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi : 1. Pemindahan Hak, karena: a. Jual Beli; b. Tukar Menukar; c. Hibah; d. Hibah Wasiat; e. Waris; f. Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya; g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan; h. Penunjukan pembeli dalam Lelang; i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap; j. Penggabungan Usaha; k. Peleburan Usaha; l. Pemekaran Usaha; dan m. Hadiah. 2. Pemberian Hak Baru karena : a. Kelanjutan Pelepasan Hak; dan b. Diluar Pelepasan Hak. Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah ya ng perolehan haknya dikenakan BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU BPHTB meliputi : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai; e. Hak Milik atas satuan Rumah Susun; dan f. Hak Pengelolaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) te rdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB yaitu : a. Objek yang diperoleh perwakilan diplomat ik, konsulat berdasar azas perlakuan timbal balik; b. Objek yang diperoleh negara untuk pe nyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembanguna n guna kepentingan umum; c. Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan orga nisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya; d. Objek yang diperoleh orang pribadi/Bada n karena KONVERSI HAK atau karena perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena WAKAF; dan f. Objek yang diperoleh orang pribadi/ Badan karena kepentingan IBADAH.

PAGE – 3 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 3Subjek BPHTB Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan atau Bangunan. Wajib Pajak BPHTB Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketent uan tersebut diatas menjadi wajib pajak BPHTB apabila dikenakan kewajiban membayar pajak. C. Tarif, Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung BPHTB Wajib Pajak BPHTB Pasal 5 UU BPHTB menyatakan bahwa tarif BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5 %. Penentuan tarif tunggal ini dimaksud kan untuk kesederhanaan dan kemudahan perhitungan. Dasar Pengenaan Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adal ah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat NPOP sesuai ketentuan Pasal 6 UU BPHTB. Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jual Beli = Harga Transaksi 2. Tukar Menukar = Nilai Pasar 3. Hibah = Nilai Pasar 4. Hibah Wasiat = Nilai Pasar 5. Waris = Nilai Pasar 6. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar 7. Pemisahan Hak = Nilai Pasar 8. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar 9. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar 10. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar 11. Peleburan Usaha = Nilai Pasar 12. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar 13. Hadiah = Nilai Pasar 14. Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3), bila NPOP tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjad i dasar pengenaan adalah NJOP PBB dan apabila NJOP PBB belum ditetapkan maka se suai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (4) besarnya NJOP PBB ditetapk an oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya di dalam Pasal 7, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Pe rolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan Pasal 7 ini dijaba rkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Pera turan Pemerintah (PP) No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.

PAGE – 4 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 4PP No. 113 Tahun 2000 ditindaklanjuti deng an Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB, yang telah diubah beberapa kali dengan : 1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 86/PMK.03/2006 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomo r 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB; 2. PMK No. 33/PMK.03/2008 Perubahan Kedu a Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB; 3. PMK No. 14/PMK.03/2009 Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB. Peraturan ini berisikan ketentuan sebagai berikut: a. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubunga n keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suam i/istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); b. untuk perolehan hak Rumah Sederhan a Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi sebagaimana telah diubah dengan Pe raturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 07/PERMEN/M/2008, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Peng adaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah); c. untuk perolehan hak baru melalui progra m pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kred it bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp10.000.000, 00 (sepuluh juta rupiah); d. untuk perolehan hak selain peroleha n hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, di tetapkan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah); e. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d le bih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang di tetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pa jak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Paja k sebagaimana ditetapkan pada huruf d;

PAGE – 5 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 5f. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d le bih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang di tetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pa jak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Paja k sebagaimana ditetapkan pada huruf d. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan dari Kepa la Daerah yang bersangkutan. Cara Menghitung BPHTB Untuk menghitung besarnya Nilai Perole han Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah dengan cara mengurangkan NPOP dengan NPOPTKP. Dengan demikian untuk menghitung besarnya BPHTB terutang adalah : BPHTB terutang = Tarif x NPOPKP atau 5% x (NPOP Œ NPOPTKP) Contoh : 1. Pada tanggal 1 Pebruari 2003, Bapak Su dirjo membeli sebidang tanah yang terletak di Kabupaten Tangerang dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp50.000.000,- Apabila NPOPTKP di tetapkan untuk Kabupaten Tangerang sebesar Rp60.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Sumarno tsb adalah : 5% x (50.000.000 – 60.000.000) = Nihil atau dengan kata lain Bapak Sudirjo tidak terutang BPHTB. 2. Pada tanggal 1 Maret 2003 , Bapak Rahmat membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPny a sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Rahmat tersebut adalah : 5% x (600.000.000 – 50. 000.000) = Rp27.500.000,- D. Pengenaan BPHTB Karena Waris, Hibah Wasiat dan Pemberian Hak Pengelolaan 1. Pengenaan BPHTB Karena Waris dan Hibah Wasiat Sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat diatur dengan peraturan pemerint ah, yaitu PP No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Ha k Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, yang meng atur hal-hal sebagai berikut: a. BPHTB terutang karena waris dan hiba h wasiat sebesar : 50 % dari yang seharusnya terutang; b. Saat terutang pajak adalah sejak tan ggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; c. Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak;

PAGE – 6 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 6d. Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB; e. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis : 1) Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wa siat termasuk suami/istri; dan 2) Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang diatas. Contoh : 1. Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp250 juta. Terhadap tanah dan bangunan te rsebut telah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp425 juta. Apabila NPOP TKP karena waris untuk daerah tersebut ditentukan sebesar Rp250 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar : 50% x 5% x (Rp425 juta Œ Rp250 juta) = Rp4.375.000,- 2. Seorang cucu menerima hibah wasiat da ri kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp325 juta. Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar : 50% x 5% x (Rp325 juta Œ Rp50 juta ) = Rp6.875.000,- 3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu fi Al-Attinfl menerima hibah wasiat dari seorang dermawan sebidang tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp700 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp60 juta maka BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar : 50% x 5% x ( Rp700 juta Œ Rp60 juta) = Rp16.000.000,- 2. Pengenaan BPHTB Karena Pe mberian Hak Pengelolaan Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU BP HTB, pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan diatur dengan peratu ran pemerintah, yaitu PP No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Ha k Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan, yang meng atur hal-hal sebagai berikut : a. Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksan aannya sebagian di limpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan tu gasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. b. Besarnya BPHTB karena Hak Pengelolaan adalah : 1. 0% dari BPHTB yang seharusnya terutang bila penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemeri ntah Non Departemen, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, Lembaga Pe merintah Lain dan Perum Perumnas;

PAGE – 8 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 8Tempat pajak terutang adalah di wilaya h Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam Pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.03/2007 tentang Perubaha n Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangun an, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tana h Dan Bangunan Dan Bentuk Serta Fungsi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Ta nah Dan Bangunan (SSB) dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 yang intinya adalah sebagai berikut : 1. Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak; 2. Dibayar dengan menggunakan Surat Setora n Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pe mbayaran lain yg ditunjuk; 3. SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Kewajiban Bayar adalah pada saat : 1. Dibuat & ditandatanganinya Akta; 2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat; 3. Ditunjuknya pemenang Lelang; 4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru; 5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. F. Tata Cara Penetapan Dan Penagihan Tata cara penetapan BPHTB diatur didala m Pasal 11 dan Pasal 12 sebagai berikut : 1. Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Prat ama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan ( 48% ). 2. Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga Pajak terutang bertambah, maka Kepala Kantor Pelaya nan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar 100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan. Tata cara penagihan BPHTB diatur dala m Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU BPHTB maka apabila : 1. Pajak terutang tidak/kurang bayar; 2. Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar; dan 3. WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga, maka Direktorat Jenderal Pajak menerbit kan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

PAGE – 9 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 9Surat Tagihan BPHTB setara dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK Pengurangan / SK Keberatan / SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak. Pajak terutang berdasar SURAT-SURAT tersebut diatas harus dilunasi paling lambat 1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib pajak, lewat batas waktu dapat ditagih dengan SURAT PAKSA. G. Pemberian Fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB Dalam APBN Tahun 2009 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d UU No. 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 26 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas APBN Tahun 2009, pemerintah memberikan subsidi terhadap BPHTB dalam bentuk pajak yang ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 500 miliar rupiah. Pelaksanaan dari DTP BPHT B tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pemberian subsidi dimaksud diberikan dala m bentuk pemberian fasilitas BPHTB bagi pembeli Rumah Sederhana Sehat (RSH) da n Rumah Susun Sederhana (RSS) yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah. Para pengembang atau pengusaha real estat yang melakukan penjualan tanah dan/atau bangunan dengan sistem bersih (netto) atau harga jual sudah termasuk pajak-pajak antara lain BPHTB, maka be sarnya BPHTB terutang yang dibebankan kepada pembeli adalah sebesar 5% x (NPOP Œ NPOPTKP). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, NPOP dalam hal jual beli adalah harga transaksi dan apabila tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP ya ng digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, da sar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. Adapun besarnya NPOPTKP secara regional untuk perolehan hak secara umum ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00. Namun demikian untuk perolehan hak yang memenuhi kriteria Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana yang perolehannya dibiayai melalui KPR bersubsidi mendapat fasilitas BPHTB be rupa NPOPTKP sebesar Rp 55.000.000,-. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan se cara umum lebih besar daripada Rp 55.000.000,- maka NPOPTKP untuk perole han hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana yang peroleha nnya dibiayai melalu i KPR bersubsidi ditetapkan sama dengan NPOPTKP secara umum. Disamping itu atas permohonan Wajib Paja k, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang memenuhi kriteria Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang da n dibiayai melalui KPR tidak bersubsidi dapat diberikan fasilitas BPHTB berupa pengurangan BPHTB sebesar 25% dari pajak yang terutang. Adapun dasar pengurangan BPHTB diatur dalam Pasal 20 UU BPHTB yang diatur lebih lanjut dalam KMK No. 561/KMK.03/ 2004 tanggal 25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menter i Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedu a atas KMK No. 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat dirinci sebagai berikut :

PAGE – 10 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 101. Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan Objek Pajak : a. WP pribadi memperoleh hak baru mela lui program Pemerintah di bidang Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan sebesar 75%; b. WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan sebesar 50%; c. WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS langsung dari pengembang dan membayar secara angsuran mendapat pengurangan sebesar 25%; d. WP pribadi menerima hibah dari keluar ga sedarah satu derajad keatas dan kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%. 2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu : a. WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah NJOP mendapat pengurangan sebesar 50%; b. WP memperoleh hak sebagai penggant ian dari tanah yang dibebaskan pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, mendapat pengurangan sebesar 50%; c. WP Badan terkena dampak krisis ek onomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian na sional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau ut ang usaha sesuai kebijaksanaan pemerintah, mendapat pengurangan sebesar 75%; d. WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar 100%; e. WP Badan melakukan Merger atau Kons olidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan tela h memperoleh keputusan persetujuan pengunaan Nilai Buku dlm rangka pe nggabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%; f. WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi karena bencana alam dlsb yang terjadi dalam waktu 3 bulan setelah penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%; g. WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya) yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah, mendapat pengurangan 75%; h. WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan sebesar 100%; i. WP Badan anak perusahaan dari perusa haan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan KepMenKeu tentan g Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi , mendapat pengurangan sebesar 50%;

PAGE – 11 ============
SieInfokum ŒDitamaBinbangkum 11j. WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program pemerintah di bidang pertan ahan atau WP yang objek pajaknya terkena bencana lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utar a, mendapat pengurangan sebesar 100%; k. WP yang objek pajaknya terkena bencan a alam gempa bumi di Propinsi DIY dan sebagian Propinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan se belum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%; l. WP yang objek pajaknya terkena benc ana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%. 3. Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak mencari keuntungan mendap at pengurangan sebesar 50%. 4. Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa rehabilitasi berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/p endidikan yang semata-mata tidak untuk mencari ke untungan mendapat pengurangan sebesar 100%. Tata Cara Permohonan Pengurangan 1. Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil DJP / Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran : a. Fotokopi Surat Se toran Bea (SSB); b. Fotokopi Akta/Risalah Lelang/Kep.Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim; c. Fotokopi identitas; d. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa; e. Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak. 2. Permohonan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran; 3. Khusus untuk MERGER, permohonan diajuk an sebelum Akta ditandatangani oleh Notaris/PPAT; 4. Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhan a dan dituangkan dalam Berita Acara; dan 5. Permohonan yang tidak memenuhi pers yaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan tida k dipertimbangkan. Keputusan Pengurangan 1. Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Prat ama dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak terima permohonan dari Waji b Pajak, lebih dari 3 (tiga) bulan dianggap diterima. Keputusan oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4 (empat) bulan sejak diterima pemohonan dari WP, lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 6 (enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap dikabulkan; 2. Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya/sebagian atau menolak;

112 KB – 14 Pages